Senin, 04 April 2011

Syeikh Sari As-saqoty

Seorang budak cantik bernama Tuhfah di abad IX. Ia tak mengenal tidur maupun makan. Kala kondisinya makin gawat, majikannya mengirim dia ke rumah sakit jiwa. Kendati ia berpakaian mewah dan wangi, kedua kakinya dirantai. Ia sering melantunkan bait-bait syair cinta.

Wahai, aku tidak gila tapi hanya mabuk! Kalbuku sadar betul dan amat bening. Satu-satunya dosa dan kesalahanku ialah dengan tidak tahu malu menjadi kekasih-Nya…

Dan, setelah itu, Tuhfah pingsan. Begitu siuman, ia ditanya siapa yang engkau cintai?

“Aku mencintai Zat yang membuatku sadar akan anugerah, yang berbagai macam karunia-Nya menyebabkanku dikenai kewajiban, yang dekat dengan segenap kalbu, yang mengabulkan orang-orang yang membutuhkan,” ujarnya.

Syaikh Al-Saqati yang mendengar syair itu tergetar. Ia menyimpulkan, Tuhfah tidak gila, dan memintanya pergi ke mana saja. Tapi, gadis itu menjawab: “Aku hanya akan pergi jika majikanku mengizinkan. Kalau tidak, aku akan tetap di sini.” “Demi Allah,” kata Al-Saqati dalam hati, “ia lebih bijak ketimbang diriku.”

Tanpa disangka-sangka, majikan Tuhfah datang. Ternyata, wanita yang mahir menyanyi dan bermain harpa itu dibelinya 22.000 dirham. “Semua kekayaan dan modalku habis,” katanya. Ia berharap untung. Ternyata, Tuhfah justru sering termenung, menangis, dan membuat orang lain tidak bisa tidur.

Itu sebabnya, dia dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Jika begitu, “Berapa pun harga yang kau minta, akan kubayar,” kata Al-Saqati kepada majikan Tuhfah. Tawaran itu dicemoohkan. Memang, Al-Saqati tak punya uang sedirham pun saat itu. Sembari berlinang air mata, ia pulang ke rumah.

Malam itu pula, pintu rumah Al-Saqati diketuk orang. Orang itu, yang menyebut dirinya Ahmad Musni, membawa lima pundi uang. Ia datang atas bisikan “suara gaib” agar AlSaqati bisa membebaskan Tuhfah. Kontan, Al-Saqati bersyukur mencium tanah. Esoknya, ia gamit tangan tamunya menuju rumah sakit.

Tak urung, penebusan itu membuat mata Tuhfah berlinang. Di saat itu pula, majikan Tuhfah datang sembari meratap dan menangis. Aneh! Janganlah menangis, “Harga yang kau minta telah kubawakan –dengan keuntungan lima ribu dinar,” kata Al-Saqati (Wanita-wanita Sufi, Dr.Javad Nurbakhsh).

“Demi Allah, tidak,” kata majikan Tuhfah. Al-Saqati menambah keuntungan 10.000 dinar. Lagi-lagi dijawab, “Tidak, Tuan.” “Sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk membelinya, aku tidak akan menerimanya,” ia menambahkan. Ia ingin membebaskan Tuhfah tanpa penebusan. Budak itu pun pergi dengan linangan air mata.

Waktu pun berlalu. Al-Saqati, majikan Tuhfah, dan Ahmad Musni menunaikan haji. Tapi, di perjalanan, Ahmad wafat. Kala tawaf mengelilingi Ka’bah, Al-Saqati mendengar ratapan aneh nan pilu, jerit kesedihan dari hati yang terluka. Namun, ia tak mengenalinya. “Mahasuci Allah! Tidak ada Tuhan selain Dia. Dulu aku pernah dikenal. Kini aku tidak dikenal lagi. Ini aku, Tuhfah,” katanya.

Masya Allah! Begitu diberitahu bahwa mantan majikannya juga sedang berhaji, gadis itu berdoa sebentar, lalu roboh di samping Ka’bah dan wafat. Tak lama setelah itu, mantan majikannya yang sedih melihat Tuhfah telah tiada terjatuh di samping Tuhfah, lalu meninggal pula. Tentu, takdir di depan rumah Allah ini seizin-Nya jua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar